Der General, Tentang Rinus Michels dan Total Football

Image

 

Michael Ruben

Ketika Belanda di level internasional dan Ajax Amsterdam di level klub berhasil meraih masa keemasannya di era 70-an, semua orang mengamini bahwa Rinus Michels adalah seniman agung dibalik Monalisa sepakbola.

 

Sebelum sukses sebagai pelatih, Michels adalah bagian dari skuad Ajax yang terkenal sebagai pemain yang sangat bekerja keras. Setelah mencatat 264 pertandingan bersama Ajax, Michels terpaksa pensiun pada tahun 1958 karena masalah cidera punggung. Michels kembali ke Ajax 7 tahun kemudian, tepatnya pada 1965 sebagai pelatih, dimana ia kemudian berhasil merevolusi sepakbola dengan filosofinya yang kemudian dikenal sebagai Total Football.

Total Football memang erat dikaitkan dengan Michels dan suksesornya, Johan Cruyff, tapi penemuan komposisi dasar dari Total Football sudah ditemukan jauh sebelum mereka mengembangkannya. Berdasarkan catatan Football Bible, adalah Jimmy Hogan yang meletakan dasarnya pada tahun 1910. Hogan memperkenalkan 2 konsep dasar dari Total Football: stamina dan kemampuan pemain dalam melakukan passing.

15 tahun kemudian strategi yang Jimmy Hogan bawa ke Belanda disempurnakan oleh Jack Reynolds. Reynolds sendiri melatih Ajax pada periode 1928–1940 dan 1945-1947. Ia adalah orang yang menambahkan konsep ‘ruang’ pada strategi Hogan dengan memperkenalkan pemain sayap, posisi dimana para pemain menyerang melebar lewat sisi-sisi lapangan.

Salah satu pemain Reynolds yang paling cemerlang adalah Rinus Michels. Michels memiliki pola pikir sebagai penyusun strategi, yang kemudian pada akhirnya berhasil mengantarnya menjadi pelatih Ajax pada tahun 1965 dan pelatih Belanda pada tahun 1974.

Michels secara langsung melatih agar seluruh pemain Ajax menjadi pemain yang serbaguna dan dapat bekerja sama satu dengan yang lain. Total Football sendiri kemudian mulai menjadi populer karena strateginya yang revolusioner dan berhasil mengangkat 2 nama yang sangat berperan dalam pelaksanaan strategi ini, jika Xavi dan Iniesta sangat berperan dalam tiki-taka, maka pada Total Football saatitu, nama Johan Cruyff dan Johan Neskeens adalah yang membuat strategi ini bekerja di lapangan. Menggunakan sistem ini sendiri, Michels berhasil membawa Ajax meraih gelar European Cup 3 kali berurut-turut (1971, 1972, 1973).

Secara singkat, Total Football adalah tipe permainan yang mengandalkan passing dan gerakan tiap pemain di lapangan. Tidak ada pemain yang memiliki posisi tetap, hanya penjaga gawang yang tetap berada pada tempat mereka. Seorang bek bisa maju sampai kedepan dan posisi bek tersebut ditutupi oleh pemain lain, “Seorang penyerang bisa bermain menjadi pemain bertahan, dan begitu juga sebaliknya, semua-nya bisa main dimana saja” – Johan Cruyff. Oleh karena itu Rinus Michels dalam praktik-nya memilih pemain-pemain dengan stamina dan fisik yang benar-benar kuat. Mengapa setiap pemain harus bergerak? Di Eropa saat itu, Italia sangat berkuasa dengan prinsip Catenaccio-nya, permainan dengan tipe “ultra-defensif”. Sederhananya, dalam Catenaccio, tiap pemain bertahan berusaha men-‘man marking’ tiap pemain yang masuk ke pertahanan seerat mungkin dan mengecilkan peluang untuk mencetak angka. Dengan mewajibkan setiap pemain bergerak, Rinus Michels secara langsung membingungkan para pemain bertahan keputusan apa yang akan mereka ambil. Jika pemain tersebut mengejar salah satu pemain Michels, mereka akan meninggalkan posisi inti mereka dan membuat tim kesusahan saat melakukan serangan balik, jika ia membiarkan pemain tersebut masuk ke pertahanan, tentu saja memberi para ‘penyelundup’ tersebut kesempatan untuk mencetak.

Michels memilih Johan Cruyff sebagai wakilnya di lapangan, sebagai kapten, sebagai playmaker, sebagai pemimpin tim. Dan Cruyff tentu saja menyadari bahwa ia adalah pemain paling penting di tim, bahkan mungkin lebih, ia bergerak kemana saja, menjadi penyerang, menjadi pemain bertahan, mengatur ritme, menyuruh pemain bergerak, menentukan pemain mana yang harus bergerak dan dioper, dan sebagainya.

Rinus Michels sendiri memperkenalkan Total Football kepada timnas Belanda pada pagelaran World Cup 1974, dimana debut Total Football terjadi pada laga melawan Uruguay. Benar saja, The Oranje berhasil membuat Uruguay (dan tentu saja dunia) terkejut dengan jenis permainan yang tidak pernah terlihat sebelumnya. Padahal, Uruguay 4 tahun sebelumnya berhasil sampai ke babak semifinal dan hampir mengalahkan Brazil dengan Pele-nya yang luar biasa, begitu luar biasanya sampai-sampai Tarciso Burnigch berujar, “Saya kira Pele terbuat dari tulang dan daging sama seperti saya, ternyata saya salah”. Tetapi pada saat itu juga (vs Belanda) Uruguay hanya seperti kumpulan orang bodoh, atau apalah sejenisnya itu, mereka hanya bisa menyaksikan diri mereka menjadi korban tekanan tanpa henti, menyaksikan Belanda dengan otak mereka di pinggir lapangan, Rinus Michels bergerak kesana kemari tanpa henti, dan sekalinya mereka melakukan serangan balik, Belanda sudah menyiapkan jebakan offside, dan bukan hanya sekali, berkali-kali mereka terjebak perangkap offside Belanda sampai akhirnya mereka kalah 2-0 dari Belanda.

 Image

Belanda juga berhasil menekuk Brazil lewat gol Neeskens dan Cruyff. Kedua gol tersebut juga berdasarkan aplikasi dari Total Football, Neeskens yang saat itu diplot menjadi pemain tengah, tiba-tiba maju menjadi striker, dan saat gol Cruyff, Ruud Krol melakukan penetrasi di flank kiri layaknya seorang winger dan kemudian melakukan crossing ke Cruyff.

Kesuksesan Total Football saat itu adalah kemampuan mereka untuk menekan, saat mereka melawan Brazil dan Brazil menguasai bola, seluruh pemain Belanda langsung menekan mereka dan mereka (Brazil) akan berusaha membuang bola sejauh mungkin dan saat itu juga penguasaan bola kembali ke tangan Belanda.

 

Cara paling efektif (mungkin paling utama) yang dipakai Brazil untuk memasuki pertahanan Belanda saat itu adalah lewat through pass, itu juga kalau tidak terjebak offside. Salah satu peluang emas mereka adalah saat Paulo Cesar Lima yang tendangannya melebar disamping gawang Jan Jongbloed pada menit ke-7.

Menyerang luar biasa, bertahan juga luar biasa. Saat menyerang, semua pemain langsung menyerbu setengah lapangan milik Brazil, termasuk Haan dan Rijsbergen. Ketika Brazil berhasil merebut bola dan mengirim umpan jauh, Haan dan Rijsbergen langsung mundur sedikit dan jadilah jebakan offside, jikaupun jebakan mereka gagal, kiper mereka, Jan Jongbloed langsung keluar dari sarangnya dan lari sekencang mungkin lalu membuang bola jauh-jauh. Luar biasa bukan? Saya sendiri kebingungan dengan apa isi otak Michels sebenarnya.

Cerita manis mereka di World Cup 74 sayangnya berakhir di semifinal saat mereka menghadapi Jerman dengan Beckenbauer-nya. Setelah meluarbiasakan Belanda dan Ajax, Michels melangkah ke Barcelona dan Stefan Kovacs menjadi penerusnya di Ajax. Di Barcelona sendiri, Michels menjadi pondasi awal era-nya tiki-taka saat Cruyff meneruskannya langkahnya, lalu kembali diterapkan Frank Rijkaard dan ditangan Guardiola, jadilah tiki-taka sekarang ini.

Rinus Michels wafat pada 3 Maret 2005 setelah operasi jantung yang kedua kalinya di rumah sakit City of Aalst, Belgia, namanya diabadikan sebagai penghargaan kepada pelatih terbaik di Liga Belanda yang musim kemarin diraih Frank de Boer dan walaupun ia sudah pergi, ia menuliskan tinta emas sebagai pelatih Belanda terbaik sepanjang masa dan tentu saja, pelatih terbaik abad ini. Inilah sedikit dari kisah hebat Der General, Rinus Michels.

 

 

 

 

Real Madrid yang Tidak Membutuhkan Neymar

Image

By: Nicholas Pratama-@NichoPratama_

Pernakah anda menginginkan suatu barang hanya karena bersaing dengan teman anda? Hingga anda memaksakan untuk membeli barang tersebut agar tidak kalah saing dengan teman anda?

Neymar adalah sebuah primadona. Mari ibaratkan ia sebagai Blackberry Dakota saat belum dilaunching. Orang-orang mengantri mendapatkannya. Bahkan ada yang rela mengeluarkan uang dalam jumlah tak masuk akal hanya untuk mendapatkannya duluan. Pada jauh-jauh hari sebelum grand launching, sang pemilik toko telah mempromosikan fitur-fitur yang dimiliki hp tersebut. Di antara lain, kencangnya fitur-fitur hp tersebut, aplikasi unik seperti rainbow flick, elastico dribble yang tidak dimiliki oleh hp lain. Maka pada grand launching, ramailah orang yang ingin memiliki hp tersebut.

Di antrian, ada seorang berbaju Barcelona menyerobot tanpa sepengetahuan pembeli lain dan berkata bahwa ia adalah pembeli pertama dari handphone canggih tersebut. Namun, pemilik toko mengatakan bahwa ia membutuhkan uang lebih, maka yang punya uang banyaklah yang akan membawa pulang hp tersebut. Merasa tidak memiliki uang yang dalam, orang-orang dengan jersey Juventus, Inter mulai pergi dari antrian dengan kecewa sembari berharap pemilik toko mengejar mereka dan menawarkan hp tersebut dengan harga murah.

Di toko, tawaran yang semakin menggila. Di saat orang berbaju Barcelona nampaknya akan segera deal dan sangat yakin dalam bidding hp ini, orang berjersey Madrid malah kelihatan bingung karena ia sudah mempunyai hp canggih lainnya. Perlukah sebuah bb Dakota jika sudah mempunyai iphone4s, ipad 2, serta sejumlah blackberry dengan tipe yang berbeda-beda?

Para petinggi blackberry dan para expert yang sudah men-test drive hp tersebut pun sebenarnya merasakan bahwa hp tersebut kadang hang. Sama seperti Neymar pada pertandingan internasional. Semakin ragulah orang berbaju Madrid tersebut. Jika ia tidak membeli hp tersebut, ia akan terlihat jadul di hadapan musuhnya orang berbaju Barcelona. Padahal, yang dibutuhkan orang berbaju Madrid tersebut baterai cadangan, dan power bank untuk melengkapi missing-link.

Zidane pernah berkata, buat apa menambah emas pada mobil Bentley jika anda kehilangan mesin? Sama dengan anda membeli bb Dakota, namun anda kehilangan baterai tersebut. Baterai yang bermerek Xabi Alonso ini bekerja maksimal namun jika dicas memakan waktu yang cukup lama. Baterai sejenis ini masih sulit dicari ataupun jika ada, harganya tidak masuk akal. Lalu anda akan kebingunan memakai hp yang mana karena terlalu banyak hp canggih untuk dipakai, dan akhirnya hp berkualitas yang sudah lama bermerk Iphone 4Kaka atau Samsung Galaxhiguan 2.0 anda miliki dibuang.

Maka itu saya sarankan kepada orang berbaju Madrid untuk tidak membeli bb Dakota tersebut. Memang anda akan terlihat sebagai orang gaptek, namun anda patut melihat lebih lanjut kinerja bb tersebut.  Apakah baterai tersebut memiliki daya tahan yang lama? Sistemnya berjalan lancar? Samakah fitur dengan yang dijanjikan pada saat promosi? Sebulan kedepan, anda akan tersenyum mendengar keluh kesah orang yang berhasil membawa pulang hp tersebut dengan seberapa kecewa mereka terhadap kinerja hp tersebut.

*Mengapa bb Dakota? Karena bb ini konon memiki baterai boros dan suka hang. KONON.

Deadliest Youngster

Page

By: Jovin Kurniawan – @JovinK_tu

Bagi anda pecinta premier league, lazim jika fokus kepada pencetak gol mungkin sedang diberikan pada Luis Suarez yang akhir-akhir ini ganas hingga menjadi top skor sementara liga, atau Robin Van Persie yang  belum menandakan ingin mencetak gol lagi setelah gol terakhirnya terjadi pada Febuari lalu. Namun sepertinya kita perlu member kredit dan perhatian pada dua pemuda Belgia yang sepertinya underestimated karena mereka berada di klub papan tengah dan bawah.

Mereka adalah Christian Benteke dan Romelu Lukaku. Dua pemain ini memiliki sederet persamaan, selain seperti yang sudah disebutkan yaitu memiliki kebangsaan yang sama, mereka berdua juga sama-sama muda dan memiliki gaya permainan yang tidak jauh berbeda. Selain itu postur perawakan mereka berdua juga memiliki kesamaan dengan tinggi  190cm, orang-orang menyebut mereka ‘the new Didier Drogba’ bukan hanya karena persamaan warna kulit saja. Gaya bermain striker bongsor yang cerdas dalam positioning walaupun tidak secepat pemain seperti Bale atau Ronaldo adalah potensi besar dalam diri dua pemain ini.

Kita mulai dari Christian Benteke, pemain dengan karakteristik kuat dan baik dalam permainan bola udara ini digadang-gadang menjadi bintang masa depan jika musim panas nanti pindah dari klubnya yaitu Aston Villa yang terancam degradasi. Dari 29 penampilannya musim ini, Benteke telah meyumbangkan 15 gol. Walaupun tidak memiliki skill diatas rata-rata, dia mengingatkan kita pada Didier Drogba yang mencetak gol dengan positioning baik dan acap kali lewat umpan lambung. Benteke juga memiliki kemampuan mencetak gol lewat long shoot dan kelebihan berikutnya adalah dia seringkali mencatatkan assist ataupun keypass dalam proses menciptakan gol walaupun kemampuan holding ball dan persentase passing suksesnya hanya 64.7%. Yang menjadi kelebihan signifikan bahkan jika dibandingkan dengan RvP atau Suarez yaitu total kemenangan aerial duel atau duel udara per match. Benteke memiliki angka 8.3 kesuksesan duel udara, Van Persie hanya 1.2 lalu disusul Suarez dengan angka 0.4 per match. Walaupun berdasarkan statistik Benteke memiliki lebih banyak duel udara, tapi ini cukup menunjukkan kelebihannya memanfaatkan postur tubuhnya yang bongsor.

Benteke bisa menjadi prospek menjanjikan bagi klub yang membelinya mengingat umurnya masih 22 tahun dan tentu saja bagi timnas Belgia yang memiliki sederet pemain tengah ajaib yang bisa memanjakan Benteke untuk mencetak gol di timnas, terbukti dengan 2 gol dari 5 pertandingan bersama Belgia di penyisihan WC 2014. Kabarnya Spurs tertarik untuk memboyong Benteke musim depan, setidaknya Benteke memiliki jaminan untuk Spurs memiliki striker yang lebih berguna daripada Adebayor ataupun Defoe.

Sedangkan untuk Romelu Lukaku, umurnya lebih muda daripada Benteke dengan 19 tahun. Dibeli oleh Chelsea dari Anderlecht, karir juniornya memang sangat cemerlang, tak heran dia dibandrol 20 juta poundsterling kala transfer itu terjadi, harga yang fantastis untuk pemain berusia 18 tahun saat itu. Di Chelsea dia hanya mendapatkan kesempatan berlaga 8 kali dan jumlah golnya pun nihil.

Dipinjamkan ke West Bromwich Albion tampaknya menjadi pembuktian Lukaku sebagai striker berkualitas. Di debutnya dari bangku cadangan dia mencetak gol ke gawang Liverpool . Hingga saat ini Lukaku sudah mencetak 13 gol dari 29 penampilannya, 15 sebagai starting dan sisanya sebagai pemain pengganti. Dengan tubuh yang lebih bongsor dari Benteke bahkan daripada Didier Drogba sekalipun, Lukaku adalah tipe pemain yang lebih suka men-dribble bola ke daerah pertahanan lawan, saya masih ingat ada moment dimana Bacary Sagna terlihat seperti orang bodoh saat berupaya mengantisipasi gerak pemain muda ini. Lukaku juga piawai membuka ruang saat serangan balik. Kemampuan duel udaranya juga cukup baik layaknya pemain bongsor lainnya. Finishing long shoot juga menjadi salah satu andalannya dalam mencetak gol.

Musim depan kemungkinan besar dia akan kembali ke Chelsea, jika Abramovich tidak bodoh, harusnya dia mempertahankan Lukaku untuk bermain di Chelsea. Kita semua tahu ada yang namanya peruntungan, seorang pemain belum tentu bermain serupa jika bermain di klub yang berbeda. Tetapi saya dan mungkin anda juga melihat potensi besar dalam diri Lukaku, termasuk potensi untuk menggeser posisi Fernando Torres. Dia berpeluang menjadi the next Drogba yang sesungguhnya.

Di timnas Belgia mungkin posisi satu striker masih kemungkinan besar milik pemain yang lebih senior seperti Kevin Mirallas, tapi bukan tidak mungkin Benteke ataupun Lukaku akan membuat terobosan dengan menjadi pilihan utama bagi timnas Belgia.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan kedua striker ini, tetapi alangkah baiknya mengenal pemain yang underrated terlebih dahulu daripada rekan-rekan anda. Jika Lukaku dan Benteke menjadi pemain bintang di masa depan, anda akan terlihat hipster karena telah mengenal nama-nama ini dari sekarang.

Brazil Belum Siap?

Michael Ruben – @michaelruben_5

Semua tahu bahwa Brazil adalah tim paling sukses di Piala Dunia, semua tahu Brazil adalah salah satu ikon paling mencolok dalam dunia sepakbola, banyak bintang lahir dari sana, tapi dalam beberapa tahun terakhir ini, sinar tim Samba sedikit meredup.

Sedikit membolak-balik halaman masa lalu, tepatnya waktu saya masih menganggap sepakbola hanyalah sebuah permainan, saya hanya memiliki satu jawaban untuk beberapa pertanyaan berikut ini: “pemain bola favorit lo siapa?”, “lo bilang pemain paling hebat siapa?”, “lo pengen jadi kaya siapa di bola?”, dan lainya… jawaban saya hanya satu, Ronaldo.

Nama seorang Ronaldo begitu melegenda di masa kecil saya dulu dan bak menjadi salah satu identitas bahwa anda benar-benar tahu sepakbola, atau dengan menambahkan satu nama lain, Ronaldinho.

Salah satu ciri khas dari Brazil adalah filosofi Joga Bonito-nya dimana masing-masing pemain dituntut memiliki kreatifitas, kecepatan, dan permainan yang stylish sehingga terciptalah sepakbola indah khas Amerika Selatan. Mereka juga memiliki talenta yang luar biasa muncul setiap tahunnya dan cenderung mudah untuk beregenerasi, contohnya di era 90an kita mengenal sosok kiper legendaris, Claudio Taffarel, sesudah peforma Taffarel menurun, Brazil memiliki nama lain seperi Marcos yang tampil gemilang di Piala Dunia 2002 ataupun Nelson Dida.

Bicara tentang Brazil memang tidak ada habisnya, setiap lini mereka seolah dikuasai pemain-pemain berkualitas yang masing-masing cenderung memiliki sesuatu yang “spesial” dari yang lainnya, mulai dari trio finisher 3R: Ronaldinho, Ronaldo, Rivaldo, atau master free kick, Roberto Carlos maupun Juninho, mereka punya, hal ini yang selalu membuat mereka jadi yang teratas di ranking FIFA.

Tetapi kehidupan itu ibarat roda yang berputar. Begitupun dengan sepakbola. Brazil tidak selamanya diatas. Mereka mungkin boleh jadi nomor 1 selama selang waktu yang cukup lama, tapi saat ini siapa sangka mereka berada di peringkat 18, peringkat FIFA terendah dalam sejarah sepakbola mereka. Bahkan, Yunani, Pantai Gading, dan Ekuador mampu mengungguli raihan mereka.

Ini kenyataan yang pasti, melihat kondisi Brazil sekarang, setidaknya saya dapat katakan Brazil belum siap bersaing di Piala Dunia nanti. Memang mereka memiliki beberapa pemain berkualitas, tapi hasil seri 2 kali berturut-turut adalah pembuktian. Julio Cesar yang sudah termakan umur, Brazil belum menemukan pengganti yang mampu menyamai atau mengunggulinya, belum lagi down-nya Ganso dan Pato serta mandulnya Neymar. Leandro Damiao pun juga belum bisa disebut sebagai striker berkaliber untuk level negara, yang akhirnya  ditutup 2 gol Fred yang pada Oktober nanti menginjak kepala 3.

Saya bukannya meremehkan Brazil, tapi saya berusaha bersikap realistis terhadap hasil yang mereka dapat menjelang Piala Dunia nanti. Setidaknya Scolari wajib membangun mental tim, karena kita tahu bahwa beberapa pemain masih labil, lalu pemain baru di skuad saat ini juga minim jam terbang di level nasional dan masalah pengalaman, kecuali Cesar yang bisa dikatakan sebagai pemain paling berumur.

Bisa dibilang telat sih bagi Brazil untuk melakukan pembenahan, tapi apa salahnya mencoba? Jadi sebenarnya Scolari kurang memaksimalkan beberapa pemain muda yang bertalenta dan nge-stuck dengan beberapa pemain senior, Rafael Cabral bisa saja mewarisi pesona Cesar dibawah mistar gawang jika diberi kesempatan lebih, atau dengan memaksimalkan bakat defender muda asal AS Roma, Marquinhos atau the red man Countinho yang potensial.

Beberapa tim saja sudah bisa move on dari beberapa pemain veterannya dan memaksimalkan talentanya, sebut saja Prancis dengan Varane, Pogba, Sakho serta Italia dengan El Shaa dan De Sciglio-nya, Brazil juga yang nanti sebagai tuan rumah seharusnya lebih siap dalam membangun tim disamping membangun stadion baru. Akhir kata, saya berharap akan adanya sosok baru seperti Ronaldo atau Ronaldinho yang ketika kita membicarakan sepakbola, nama mereka pertama kali terpikirkan.

Forza Selecao!

Aku Bangga, Indonesia

Garuda

By: Jovin Kurniawan – @JovinK_tu

Hari itu, kawasan Senayan terutama di sekitaran stadion utama Gelora Bung Karno dipadati orang-orang dengan kostum nuansa merah-putih bahkan sejak pagi. Mereka berlomba-lomba untuk datang lebih awal meskipun distribusi tiket baru dimulai sekitar jam 9. Loket penjualan tiket terutama tiket untuk kategori kelas bawah tidak pernah berkurang antriannya selama 2 hingga 3 jam pertama . Mereka datang, berharap untuk menyaksikan perubahan besar sepakbola bangsa dan demi satu nama: Indonesia.

Kisruh sepakbola bangsa kita sedikit mereda dengan dibubarkannya KPSI lalu pemersatuan PSSI, pemain-pemain terbaik dari seluruh bangsa Indonesia sudah dapat dipanggil untuk membela tim nasional Indonesia. Masyarakat yang sebelumnya dikecewakan berkali-kali dengan hasil yang memalukan kembali ke GBK untuk menyaksikan dan memberikan dukungan untuk timnas sekaligus berharap ini akan menjadi titik balik sepakbola Indonesia untuk menuju kearah yang lebih baik.
Saat saya memasuki bangku penonton dan melihat kembali kemegahan stadion kebanggaan masyarakat Indonesia, saya sudah bisa merasakan antusiasme suporter timnas Indonesia walaupun permainan belum dimulai dan belum seluruhnya tribun penonton penuh. Kerinduan saya terhadap animo yang menggebu-gebu terobati ketika melihat kembali berbagai kalangan datang dengan semangat tinggi hari itu.

Sebut saya norak atau kampungan jika anda yang hadir di stadion tidak merinding saat lagu kebangsaan kita yakni Indonesia Raya berkumandang, seluruh isi stadion seperti menandakan persatuan untuk berjuang dalam suatu peperangan.

Orang bilang inilah titik balik sepakbola Nasional kita untuk maju, tapi menurut saya ini belum menjadi titik balik, ini barulah sebuah perjalanan untuk mencapai titik balik itu sendiri. Kita sudah melangkah walaupun sedikit, diluar penyatuan pemain-pemain terbaik kita masih memiliki sederet masalah yang harus diselesaikan, mulai dari gaji pemain hingga embel-embel organisasi yang lain, dengan sedikit keberhasilan untuk menyatukan dualisme pada kongres kemarin, saya yakin kita akan meraih titik balik itu dan menuju kearah yang lebih baik.

Kembali ke lapangan, sepanjang pertandingan saya begitu terbawa dalam hiruk pikuk suporter yang tidak pernah lelah menyanyikan berbagai lagu dukungan yang tidak asing lagi bagi pendukung timnas. Walaupun dibangku penonton banyak yang beropini lain dari apa yang mereka dilihat di lapangan, cepat atau lambat mereka harusnya menyadari bahwa yang diturunkan pelatih adalah yang terbaik dari apa yang mereka pikirkan sebagai penikmat sepakbola awam.
Saya pun berpendapat bahwa permainan timnas kemarin cukup baik walaupun bukan yang terbaik, mereka akan dapat memberikan permainan terbaik jika memiliki waktu persiapan yang lebih panjang. Permainan memang bukan yang terbaik, tetapi kita semua pastinya yakin bahwa para pejuang kita di lapangan telah memberikan yang terbaik dengan persiapan ringkas.

Coba kesampingkan kekalahan timnas kita kemarin, saya begitu bangga ketika melihat pemain Indonesia telah berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mengharumkan nama bangsa. Kita pantas memberikan apresiasi atas perjuangan mereka dan saya melihat itu di Gelora Bung Karno kemarin. Saya berharap apresiasi ini juga dilakukan organisasi tertinggi sepakbola kita dengan memenuhi hak sang pejuang.

Pada akhirnya kita harus mengetahui bahwa kita mendukung negara sendiri tidak sama seperti mendukung idola kita pada bidang entertaimen, kita bisa saja berpaling jika artis idola kita itu sudah tak bersinar lagi atau sedang tidak berada di puncak kepopuleran. Secara sadar kita menenggelamkan diri untuk berkorban mendukung bangsa ini dengan berbagai resiko kekecewaan, dan kita akan kembali lagi jika kita dikecewakan karena memang hanya INDONESIA, negara kita, yang bisa kita banggakan.

Prospek menjanjikan dan menggiurkan Liverpool

Image

Nicholas Pratama – @NichoPratama_

Liverpool mungkin sudah tidak dianggap tim besar yang mampu bersaing di zona UCL karena prestasinya beberapa musim terakhir. Namun jangan salah, dibawah asuhan Rodgers and their sexy talent, kehausan prestasi mungkin akan segera diakhiri.

2006-2012. 6 tahun yang dijalani tanpa satu buah gelarpun. Mengapa? Liverpool kurang berusaha dalam mempertahankan pemain yang sebenarnya sudah matang dan masih dapat menanjak grafik performanya. Tanpa pikir panjang, Xabi Alonso, Mascherano, Yossi Benayoun, J.A Riise, Fernando Torres hijrah ke klub lain. Padahal jika Liverpool lebih ngotot, mereka mungkin masih bertahan hingga sekarang.

Badai belum berlalu. Di tengah maraknya pelajaran sejarah oleh para Liverpuldian, Luis Suarez, Jose Enrique, Stewart Downing, Andy Carroll didatangkan untuk menambal skuad. Namun semua tahu apa yang terjadi dengan nama diatas kecuali Suarez. Namun, pasokan tersebut cukup untuk mendatangkan, yah piala liga.

Akhirnya, Liverpool ingin merubah segalanya dan mendatangkan Brendan Rodgers. Rodgers langsung membuang beberapa pemain yang ia anggap tidak layak dan tidak berambisi dan mengganti mereka dengan tenaga muda macam Raheem Sterling, Jonjo Shelvey, Andre Wisdom. Lalu ia mematenkan “posisi yang tidak inkosisten” dengan pemain seperti Jose Enrique, Lucas, Downing dan mencampurkan dengan para tenaga muda lalu akhirnya bertiki-taka yang awalnya sempat kelihatan berkahir prematur.

Tidak puas dengan skuad tadi, pada transfer paruh musim mereka mendatangkan Daniel Sturridge dan Philippe Coutinho. Finally, tim ideal terbentuk. Masuknya para winter transfer memberi sentuhan sexy yang belum pernah ada sebelumnya.

Akhirnya, tusukan-tusukan serta mobilitas Glen Johnson dan Jose Enrique, di tambah Downing yang mulai bangkit dari keterpurukan, Lucas dan Gerrard yang siap menstabilkan permainan, lalu diakhiri dengan finishing trio kwek-kwek Suarez-Sturridge-Coutinho. Telah terbukti dari streak kemenangan mereka. Menggiurkan bukan?

Rodrigo Palacio, Salah Satu Kunci Il Biscione

Image

By: Michael Ruben

La Gazzetta dello Sport yang pada minggu lalu mengabarkan perseteruan antara Andrea Stramaccioni dan Antonio Cassano, membuat para tifosi setia Internazionale terkejut, pasalnya, kejadian tersebut memang benar, sampai-sampai Strama tidak memasukan nama Cassano di skuad untuk menghadapi Catania. Keputusan yang dibuat Strama begitu tegas mengingat ada beberapa pemain lain yang sedang dibekap cedera seperti Yuto Nagatomo, Walter Samuel, dan Matias Silvestre.

Pada laga melawan Catania, keputusan yang dibuat Strama sudah mutlak, ya, tanpa Cassano! Inter akhirnya bermain sangat buruk di babak pertama, mereka tertinggal 2 gol terlebih dahulu lewat Gonzalo Bergessio dan set-piece matang Francesco Lodi yang berhasil membuahkan gol bagi Giovanni Marchese.

Catania berhasil mempermalukan La Beneamata setidaknya sampai akhir babak pertama. Strama bukan tanpa asa, pada awal babak kedua, ia mengganti Zdravko Kuzmanovic dan Tommaso Rocchi yang tidak maksimal di babak pertama dengan Dejan Stankovic dan Rodrigo Palacio.

Rodrigo Palacio menjadi salah satu opsi utama Strama agar Inter dapat mengembalikan kedudukan dan pada akhirnya, Palacio sukses membubuhkan assist pada Ricky Alvarez. Pada menit 51, ia juga mencetak gol penyama kedudukan sebelum akhirnya pada injury time, Palacio benar-benar membawa kemenangan bagi Inter setelah menerima bola dari Esteban Cambiasso. Palacio benar-benar menjadi kunci penentu pada pertandingan tersebut walaupun sebelumnya skuad terlihat gak pede tanpa pemain belakang andalan mereka dan perihal masalah Cassano.

Palacio bukan kali ini saja menjadi penentu kemenangan bagi Inter, pada laga di Juventus Stadium, Palacio berhasil memperbesar kedudukan menjadi 1-3 pada menit 89 dan akhirnya berhasil mematahkan rekor tidak terkalahkan Juve dibawah asuhan Antonio Conte. Strama yang pada tahun lalu berusaha mempertajam lini depan setelah status permanen di akhir musim Goran Pandev berhasil ditekan Napoli dan pertukaran Giampaolo Pazzini, berhasil mendatangkan Rodrigo Palacio dan Antonio Cassano.

Diego Milito yang cukup berhasil berduet dengan Ricky Alvarez di musim sebelumnya, mendapat sokongan lebih di musim 2012/2013, bersama dengan Cassano dan Palacio sebagai penyerang bayangan, mereka menjelma menjadi salah satu tridente berbahaya di Serie A, mereka bergantian memberi assist dan mencetak gol. Peran Palacio di paruh musim pertama yang bisa dikatakan cukup menakjubkan. Beberapa gol-gol krusial terkadang ia ciptakan. Palacio juga cukup vital dalam men-support serangan, sayang Inter mendapatkannya saat ia sudah menginjak kepala 3.

Palacio akhirnya menjadi salah satu bagian penting di Inter. Lupakan umurnya, kita nikmati saja aksinya di lapangan hijau. Termasuk saat ia menjadi kiper di Coppa Italia pada pertandingan melawan Chievo Verona, saat itu, Inter memang sudah unggul lewat Cassano dan Fredy Guarin, tapi cidera Castellazi tidak dapat ditolak, hal yang lebih tidak dapat dipercaya adalah, opsi pergantian pemain Inter sudah habis dan terpaksa bermain dengan 10 pemain. Ricky Alvarez pada awalnya sempat yang ingin dijadikan kiper, tapi Strama memilih Palacio. Palacio sukses melakukan beberapa penyelamatan penting. “Mengapa saya yang menjadi kiper? Awalnya Chivu mengatakan bahwa ia akan melakukannya, tapi Stramaccioni memutuskan dia ingin saya atau Alvarez. Untungnya itu hanya 15 menit! Apakah saya pernah melakukannya sebelumnya? Ya, beberapa kali sewaktu saya kecil.” Begitu setidaknya yang dikatakan Palacio usai pertandingan.

Duet Cassano, Milito, Palacio mengingatkan saya pada era Inter saat trio Jerman menjadi duet mematikan di Serie A dan Eropa, tapi itu udah zaman dulu, beda sama yang sekarang, kita nikmati saja sepakbola Italia yang sekarang beserta kontroversi-kontroversi yang menyertainya.

Return to the track!

kagawa

By: Jovin Kurniawan

Jika anda memiliki mobil mewah sekelas Bugatti Veyron atau Ferrari 599XXX, kemewahan dan kecepatan super dari mobil-mobil tersebut akan terasa mubazir jika anda memilih mengendarai kendaraan yang dibandrol lebih dari 18 Milyar Rupiah tersebut di jalanan di kota padat bernama Jakarta. Apapun dan semahal apapun itu, tidak akan terasa manfaatnya jika tidak ditempatkan di tempat yang benar.

Sabtu, 2 Maret 2013. Laga el-clasico antara Madrid dan Barcelona sedang gembar-gembor dibicarakan oleh pecinta sepakbola seluruh dunia, semua menunggu laga yang penuh drama tersebut. Bukannya ingin sok anti-mainstream atau sok hipster, saya tetap memilih menyaksikan laga Manchester United vs Norwich City. Memang match ini pertarungan antara tim papan atas bahkan tim yang tidak mungkin lagi dijangkau di klasemen liga Inggris melawan tim promosi papan bawah,jika match ini disandingkan dengan el-clasico pun rasanya tidak pantas untuk mendapat perhatian.

Namun satu hal yang perlu dipahami secara benar, Norwich memang tim papan bawah secara klasemen, tapi Norwich adalah tim yang sering memberikan kejutan pada klub-klub besar, pekan lalu Norwich berhasil membungkam Everton, bahkan paruh musim lalu Norwich berhasil mematikan United di kandangnya. Jadi halal-halal saja jika mengabaikan el clasico demi pertandingan ini

Satu hal yang mencuri perhatian saya adalah saat Shinji Kagawa yang notabene seorang gelandang serang dan playmaker, ditempatkan oleh Fergie justru di sisi kiri lapangan. Saya tidak tau apa maksud Sir Alex melakukan hal tersebut, sudah beberapa kesempatan Kagawa ditempatkan di posisi yang sama namun kita semua dapat melihat bahwa Kagawa lebih piawai bermain di posisi free roll. Ibarat Bugatti Veyron yang melaju di lintasan berbatu, kemampuan Kagawa yang luar biasa seperti apa yang kita lihat di Bundesliga musim lalu tidak terasa saat ia bermain di flank. Kagawa seperti kebingungan saat sudah sampai di pojok kiri lapangan, crossing bukanlah tipe dari permainan Kagawa, menusuk ke dalam dengan skill individu pun sulit dilakukan oleh Shinji. Namun, karakter Kagawa yang  lebih leluasa main di sentral horizontal lapangan beberapa kali membuat Kagawa lebih ke tengah, gol pertama tidak akan terjadi jika Kagawa tetap di sisi kiri.

Saya memang sama sekali tidak tergoda untuk memindah channel tv saya ke pertandingan el-clasico. Memang di babak pertama saya sejenak memindahkan channel saya ke saluran satu untuk semua demi menyaksikan girlband Cherrybelle yang menyanyikan lagu Love is You ,menurut saya lebih menarik jika dibandingkan dengan permainan United yang haus akan kreasi. Di jeda babak pertama pun saya kembali menyaksikan girlband tersebut menyanyikan satu lagu lagi.

Saat babak kedua mulai, saya tidak pernah untuk sekedar berpikir memegang remote tv saya. Kagawa kini bermain di posisi yang lebih sentral, Kagawa lebih leluasa menyusuri jengkal demi jengkal lapangan. Kemampuan terbaik Kagawa muncul seolah ia adalah Ferrari yang sedang melaju di sirkuit, luar biasa elegan. Saat Rooney mendapat umpan direct dari Carrick, Kagawa tiba-tiba muncul di tengah kotak penalti dan dengan mudah melesakan bola ke gawang, kita bahkan mungkin lupa jika Robin Van Persie sedang bermain juga. Permainan panas Kagawa yang lebih panas dari video yang dibintang pacarnya menjadi jadi ketika Danny Welbeck masuk menggantikan RvP. Welbeck dapat mengisi posisi sayap kiri sehingga Kagawa lebih bebas membuat permainan. Saat Rooney melakukan pass satu-dua dengan Welbeck, Kagawa muncul untuk mencetak gol sekaligus mencatatkan namanya sebagai pemain Asia yang mencetak hat-trick pertama di EPL.

Mungkin Kagawa sudah kembali ke lintasannya sebagai gelandang free roll, jika Fergie terus menempatkannya di posisi aslinya, bukan tidak mungkin setidaknya musim depan kita dapat melihat Kagawa sebagai bintang baru liga Inggris. Sesuatu akan lebih efisien dan bermanfaat jika ditempatkan di tempatnya.

 

@JovinK_tu

Menanti Reaksi Formula Wenger

wenger

 

By: Jovin Kurniawan @JovinK_tu

 

Harapan Arsenal untuk memenangkan trofi yang menjadi trofi terakhir sebelum puasa gelar hampir 8 tahun pupus setelah mereka terlempar dari ajang FA Cup oleh Blackburn Sabtu kemarin.

Seluruh pemain Arsenal yang tampak tertunduk lesu seolah tak percaya bahwa mereka kalah setelah usaha mereka yang habis-habisan di menit-menit akhir untuk menyamakan kedudukan tapi berakhir buntu hingga wasit meniup peluit panjang. Jack Wilshere yang diturunkan mulai menit 70 tidak bisa berbuat apa-apa setelah Blackburn menumpuk seluruh pemain tengahnya menjadi pemain bertahan setelah mencetak sebuah gol.

Saat melihat timeline twitter terlihat salah satu manusia pecinta Arsenal yang mungkin anda sudah kenal sebagai komentator podcast dan seorang penulis mulai mempublish sederet tweet-tweet yang menunjukkan rasa frustrasinya yang mungkin tidak kalah dengan rasa frustrasi Samir Nasri dan Robin Van Persie yang meninggalkan klub setelah tidak memenangkan trofi dalam kurun waktu panjang.

Sosok sentral dalam perkara ini pantas diumpan kepada sang manager, Arsene Wenger. Periode Wenger menangani Arsenal yang bahkan lebih tua dari umur saya sendiri tentu menggambarkan dirinya adalah sosok yang loyal dan sangat dihormati di Arsenal. Permainan Arsenal memang sedang under-performance, tetapi tampaknya fans Arsenal banyak yang memilih alasan lain daripada menyalahkan sang profesor.

Setelah pertandingan Wenger memberikan statmen bahwa mereka akan fokus dalam ajang yang tersisa walaupun kecil peluangnya yaitu Champion League, tapi rasanya akan sulit mengalahkan Bayern Munchen yang begitu perkasa sedangkan Arsenal saja sulit untuk sekedar menembus persaingan 3 besar liga domestik. Wenger nampaknya terus berpikir kedepan untuk fokus pada apa yang ada bukan apa yang hilang, mungkin seandainya Arsenal tersingkir dari UCL, target Wenger  akan beralih menjadi setidaknya finish di zona champion league musim depan (lagi).

Saya ikut merasakan bahwa fans Arsenal apalagi makhluk pengagung Wenger yang trend dengan sebutan Wengerwankers memiliki tingkat kesabaran yang lebih tinggi dari fans-fans klub eropa lainnya. Mereka sabar seolah proses kegagalan ini akan berakhir manis , mereka menantikan sebuah eksperimen yang dinamakan ” Formula of Wenger “.  Mereka begitu sabar juga mengubur dalam-dalam ekspektasi besar mereka yang sebenarnya wajar ditujukkan pada klub bersejarah seperti Arsenal. Saya juga ikut senang karena manusia dengan fanatisme buta yang membela klub kesayangan mereka mati-matian dengan alsan yang tidak logis setidaknya menghilang dari jangkauan timeline saya.

Arsene Wenger sampai kapanpun adalah manager hebat dengan sejarah mengkilap, haram untuk kita menyalahkan Wenger atas 2-3 musim keterpurukan Arsenal jika dibandingkan 16 tahun sejarahnya di Arsenal.

 

Apakah Membicarakan Kesuksesan Terlalu Dini Untuk Milan?

Image

Michael Ruben – @michaelruben_5

Mengingat tentang kejayaan Milan pada masa lalu, dimana kemahsyuran dari sang Trio Belanda – Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard, atau ketangguhan seorang Maldini dan Baresi, atau seorang full-back lengkap macam Zambrotta dan Cafu menjadi kunci sukses bagi iblis Italia. Semuanya memang sudah masa lalu, yang bisa dilakukan sekarang adalah, mencari suksesor para pendahulu tersebut yang mampu menyamai atau melewati kesuksesan sang legenda.

Milan yang tahun lalu memutuskan untuk mencuci gudang pemain era lamanya dan hanya menyisakan seorang Massimo Ambrosini dan Christian Abbiati, dianggap sebagai awal kebangkitannya. Kenyataannya memang tak sebagus harapannya. Milan sangat sulit menemukan kestabilan, belum lagi masalah adaptasi para pemain-pemain barunya.

Bojan Krkic, M’Baye Niang, Bakaye Traore, Kevin Constant, Riccardo Montolivo dan Nigel De Jong datang diawal musim sebagai penambal perginya Pippo Inzaghi, Gennaro Gattuso, Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, Gianluca Zambrotta, Ibra, Silva dan Nesta. Montolivo dapat saya katakan sukses bermain di posisi lama Pirlo sebagai seorang deep-lying playmaker, kepergian Ibra juga sudah dapat ditanggulangi dengan peforma seorang El Shaa. Tapi kepergian Thiago Silva yang memiliki peran vital di lini belakang masih sulit ditutupi. Acerbi yang sempat disiapkan untuk menggantikan posisi Silva juga pada akhirnya cuman berfungsi sebagai sumber penangkal kekawatiran para Milanisti atas lini belakang klub kesayangan mereka.

Tapi seiring berjalannya waktu, Milan pada akhirnya berhasil juga memperbaiki peformanya walaupun inkonsistensi masih jadi masalah utamanya. Saya dapat katakan bahwa Milan cukup beruntung, ditengah tengah kekhawatiran para tifosi terhadap absennya Luca Antonini dan Ignazio Abate, munculah dua bintang baru menutupi kosongnya posisi bek sayap, Mattia De Sciglio dan Kevin Constant, mereka bermain bagus di posisi ini walau posisi bek kiri bukan posisi murni bagi Constant. Tapi Constant sukses menjadi bagian penting di skuad, kemampuannya bermain diberbagai posisi menjadi nilai tambahnya. Pada akhirnya juga dapat saya katakan bahwa Mattia De Sciglio dan Ignazio Abate bermain sangat baik dan dinamis di posisi fullback.

Setelah transfer yang berjalan alot selama beberapa pekan, akhirnya pada 29 Januari 2013, Super Mario datang dengan sejuta harapan menyertainya. Balo suskses di pertandingan persahabatan pertamanya bersama Milan dengan mencetak 1 gol dan 1 assist, Balo juga sukses mencetak brace saat laga kontra Udinese. Balotelli menjadi harapan baru para Milanisti atas tumpulnya lini depan dan perginya Alexandre Pato. Bersama dengan Niang dan El Shaa, Balotelli membentuk tridente muda Rossoneri. Secara taktik dan formasi yang digunakan Milan pada beberapa musim terakhir (4-3-1-2), semua orang tau bahwa Milan mengalami “obesitas striker”. Dengan formasi yang hanya membutuhkan 2 buah striker murni, Milan malah memiliki segudang striker sampai Allegri harus mengganti pakem ‘4-3-1-2’ nya menjadi ‘4-2-3-1’ sampai formasi yang sering digunakan saat ini, ’4-3-3’.

Milan mungkin memang sedang down, tapi saya yakin pemain muda mereka akan siap berkata lantang pada masa depan “hei lihat inilah kami, kami AC Milan telah kembali dari keterpurukan”. Saya harap sih begitu, mengingat usia-usia penyerang mereka yang masih dalam masa-masa on fire dan mereka akan terus berkembang. Apakah terlalu dini membicarakan kesuksesan pada Milan? Saya sih jawab ya. Alasannya yang pasti karena Milan belum dewasa, dalam permainan ataupun transfer pemain (walaupun Balotelli dan Constant mematahkan alasan saya). Alasan kedua adalah, Milan bukan saatnya memikirkan kesuksesan untuk saat ini, mereka harus membangun kekuatan untuk mengembalikan nama mereka, dan mereka harus berjuang untuk itu, setelah itu baru mereka bisa bebas membicarakan kesuksesan.